Sepeda Impian Menghantarkanku Menggapai Mimpi

 


        “Betapa senangnya aku jika bisa naik sepeda,” gumamku dalam hati ketika melihat teman-temanku bermain sepeda di sebuah taman di dekat balai desa. Sudah beberapa hari ini kulihat teman-temanku bermain sepeda setiap sore. “Aku bisa bermain lebih asyik bersama teman-teman. Aku juga tidak capek bila disuruh ibu membeli minyak di toko  kelontong pojok lapangan. Bahkan, pasti lebih cepat jika aku ke sana naik sepeda.” Khayalan seperti itu berulang kali ada dalam benakku.

         Impianku untuk bisa naik sepeda sebenarnya sudah lama, ketika aku masih berumur dua tahun. Tepatnya semenjak aku mengenal lagu “Kring kring ada sepeda” ciptaan Bu Kasur yang sering kulihat di televisi. Aku sempat beberapa kali mencoba naik sepeda roda tiga saat menjadi peserta didik di PAUD sebelah rumahku. Meskipun hanya sebentar karena jam istirahat tidak lama. Belum lagi harus bergantian dengan teman-temanku. Terkadang aku rela pulang terlambat demi memuaskan keinginanku, yakni bermain sepeda lebih lama.

            Meskipun saat ini aku sudah duduk di bangku kelas empat. Impianku untuk bisa naik sepeda roda dua belum bisa terwujud. Kondisi ekonomi orangtuaku belum memungkinkan aku memiliki sepeda. Ayahku merantau di ibukota bekerja sebagai buruh bangunan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Sedangkan ibuku tidak bekerja, tinggal di kampung bersama aku dan Dina, adikku yang baru berusia dua tahun.

            Sore itu seperti biasa teman-temanku naik sepeda lewat depan rumahku saat aku menyapu halaman samping. Aku hanya memandangi mereka tanpa menanyakan ke mana mereka akan pergi. Dalam sekejap mereka menghilang di tikungan jalan yang mengarah ke taman desa. Aku masih berdiri memegang sapu. Belum beranjak dari tempatku berdiri meskipun pekerjaan menyapu sudah selesai.  Tiba-tiba suara ibu mengalihkan perhatianku.

           “Eka, hari sudah sore, kamu lekas mandi ya, Nak!” kata ibuku yang sedang menyiram bunga di teras rumah.

            “Iya, Bu,” sahutku sambil berjalan, bukan menuju ke kamar mandi, melainkan mendekati ibuku.

           “Ibu, beliin Eka sepeda dong,” pintaku kepada ibu sambil mengiba.

“Sabar ya sayang…, ayah dan ibu belum cukup uang untuk membelikanmu sebuah sepeda,” jawab ibu sambil membelai rambutku yang terurai panjang. “Ayah bulan depan akan pulang, semoga  bisa membelikanmu sepeda, Nak.” Ibu mencoba menghiburku.

“Tidak harus baru, Bu. Sepeda bekas sudah cukup buat Eka.” Aku merengek sambil menatap mata ibuku yang berkaca-kaca.

“Iya Nak…,” tutur ibuku lirih sambil menyeka air matanya dengan lap makan yang masih tersampir pundak kirinya.

Kali ini ibuku tidak berani menatap wajahku. Hal itu dilakukan agar aku tidak melihat butiran tetesan air mata yang keluar dari sudut pelupuk matanya. Dari bayangan kaca jendela nampak ibuku tak kuasa menahan air mata kesedihan. Sedih karena belum bisa mengabulkan permintaanku. Sebagai anak sulung aku selalu menurut nasehat orang tua. Aku rajin beribadah dan sering mendapatakan ranking satu di sekolah. Selalu mengalah dengan adik dan tidak pernah menolak ketika disuruh orangtuaku.

***

Tepat sebulan kemudian ayahku pulang. Suara motor tukang ojek pada dini hari membangunkanku yang masih tertidur pulas. Aku berjalan pelan menuju ke jendela dan mengintip dari celah gorden untuk memastikan siapa yang datang. Dalam remang-remang tampak seseorang mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikannya kepada si tukang ojek. Si tukang ojek pun segera pergi dengan sepeda motornya yang melaju cepat.

Aku berusaha mengamati wajah orang yang masih berada di halaman rumahnya. Minimnya lampu penerangan menyulitkanku mengenalinya. Sesaat setelah orang tersebut berjalan, aku dengan cepat mengenalinya bahwa itu ayahku.

Aku ingin segera membukakan pintu. Namun kuurungkan niat baikku. Aku teringat pesan ibu agar tidak membukakan pintu bagi siapa pun yang datang di malam hari.

“Ayah datang…! Bu, Ayah datang…!” teriakku kegirangan sambil bergegas menuju ke kamar ibu dan menyingkap gorden penutup kamar.

“Ssssttt…,” kata ibu lirih sambil menempatkan jari telunjuknya tepat di depan mulut. Sebuah isyarat agar aku tidak berisik. Kualihkan pandanganku ke arah adikku yang masih tertidur pulas.

Ibu segera beranjak dari tempat tidur dan melihat dari balik jendela guna memastikan siapa yang datang. Setelah yakin ayah yang datang ia segera membuka pintu. Belum sempat ayah masuk ke rumah. Aku langsung memeluknya dengan erat.

“Aku kangen Ayah,”

“Ayah juga kangen Eka,” pungkasnya sambil membopongku, lalu aku didudukkannya di kursi bambu yang ada di dekat pintu kamarku.

“Hari masih gelap, sekarang pukul tiga, Eka bobok lagi ya!” tambahnya.

“Iya, yah,” jawabku sambil berjalan masuk kamar.

Aku hanya berbaring sambil menantikan datangnya pagi. Aku tidak bisa tidur lagi. Aku berharap mentari segera terbit dan menyinari bumi. Aku pun berkhayal ayahku nanti mengajak jalan-jalan dan membelikanku sebuah sepeda.

***

Tidak seperti biasanya, kali ini aku sarapan ditemani oleh ayahku. Sedangkan ibuku selalu mengikuti Dina yang berjalan mondar-mandir karena tidak mau disuapin.  

“Ayah, aku pingin punya sepeda,” tuturku membuka pembicaraan.

“Iya Nak, tapi sabar ya, ayah belum bisa membelikan sepeda sekarang,” jawab ayahnya sambil menghela napas.

“Kasihan Eka, yah. Eka telah lama menginginkannya, bekas juga mau kok. Teman-temannya setiap sore bermain sepeda lewat depan rumah,” sahut ibu membelaku.

“Baiklah, nanti siang ayah belikan sepeda,” pungkasnya sambil mencubit pipiku.

Setelah selesai sarapan aku segera menggendong tas dan berjalan kaki menyusuri pematang menuju sekolah. Jarak antara rumahku ke sekolah lebih dari tiga kilometer. Jauh memang, tetapi pada musim kemarau seperti saat ini aku lebih suka melewati pematang sawah dan naik turun di jalanan terjal.  Meskipun aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menaklukkan medan berat. Guru baru di sekolahku pernah heran melihat bajuku basah saat aku melintas di gerbang sekolah. Melalui medan berat tersebut jarak yang kutempuh terpangkas jauh, jarak rumah ke sekolah menjadi kurang dari satu kilometer.

Kali ini aku tidak fokus belajar. Bukan karena capek berjalan atau baju yang basah menyerap keringat. Jawaban ayah saat sarapan tadi sulit dihapus dari memori ingatanku.

Bel berbunyi empat kali pertanda kegiatan belajar mengajar telah usai. Aku berjalan cepat agar segera sampai rumah. Kulihat  teman-temanku masih tertinggal jauh di belakang. Mereka berjalan santai sambil bercengkerama.

Dari kejauhan kulihat ada mobil pick up parkir di depan rumah. Mungkin mobil itu membawa sepeda untukku. Aku semakin tidak sabar. Langkahku kupercepat, akhirnya aku berlari kecil agar segera sampai di rumah.

Ternyata benar dugaanku, ada beberapa sepeda berjajar di atas bak terbuka, semuanya sepeda bekas. Ada berbagai jenis sepeda, mulai dari sepeda roda tiga hingga sepeda gunung. Ada juga sepeda roda empat. Sepeda yang kusebutkan terakhir ini sebenarnya jenis sepeda roda dua seperti pada umumnya, namun dilengkapi dengan dua buah roda penyeimbang yang dipasang di sisi kanan dan kiri roda belakang sepeda. Roda penyeimbang ini dapat dibongkar pasang sesuai dengan kebutuhan pemakainya.

“Eka pilih yang mana?” tanya ibuku sambil menunjuk beberapa sepeda yang masih berjajar di atas mobil. “Minion yang ini bagus!” tambahnya sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya.

“Sepeda gunung saja, kan Eka sudah besar, jadi bisa dipakai kelak kalau Eka sudah masuk SLTP,” Ayah mencoba memengaruhiku dalam pengambilan keputusan.

“Eka pilih…, mmm… sepeda gunung!” jawabku reflek layaknya jawaban seorang anak kecil yang disodori beberapa pilihan. Kata terakhir yang ada dalam sebuah pertanyaan yang selalu dipilihnya.

Sepeda pilihanku segera diturunkan dari mobil. Si penjual memberikan kesempatan padaku untuk mencobanya. Aku tersenyum sambil menatap mata ayah, laksana isyarat seorang pimpinan yang melemparkan sebuah tugas kepada bawahannya . Ayah lekas tanggap, ia tahu kalau aku belum bisa naik sepeda.

Ayah bisa memastikan kondisi sepeda gunung pilihanku masih baik setelah mencobanya sebentar. Ayah lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan membayarnya. Si penjual memberikan sebuah kwitansi kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya.

Aku segera ganti pakaian dan siap belajar naik sepeda. Dengan hati-hati kutuntun sepedaku menuju ke jalan.

“Eka, makan siang dulu, Nak!” suara ibu menghentikan langkahku.

“Sebentar, Bu, Eka belum lapar,” jawabku sambil tetap melangkahkan kaki.

“Eka…, makan dulu!” kali ini suaranya lebih keras, ayah yang memanggilku.

“Iya, yah,” sahutku sambil memutar sepeda. Aku tidak ingin membuat ayah kecewa, apa lagi marah padaku. Ayah telah memenuhi keinginanku.

Siang itu aku makan dengan lahap. Bukan karena terlalu lapar, tapi ingin segera mencoba sepada baruku. Ya, sepeda bekas itu bagiku merupakan sepeda baru. Sampai-sampai aku gak bisa merasakan lezatnya masakan ibu siang itu.

Matahari tepat berada di atas kepala ketika kutuntun sepedaku menuju jalan yang rata. Teriknya matahari tidak kuhiraukan. Kaki kananku mulai mengayuh pedal sepeda dengan pelan. Lalu kuangkat kaki kiriku dengan cepat dan mencari posisi pedal sebelah kiri. Sepedaku oleng ke kanan sebelum kaki kiriku berhasil menempati posisi yang seharusnya. Aku berusaha mengarahkan stang agar sepeda berjalan lurus ke depan.

Gubrak…!” Dalam sekejap aku terjatuh bersamaan dengan sepeda yang kunaiki. Aku gagal menjaga keseimbangan. Aku merintih kesakitan sambil memegangi lutut kananku. Kulihat lututku berdarah karena terbentur bebatuan.

Dengan tertatih-tatih aku mencoba bangun sendiri. Setelah rasa sakit berkurang aku berjalan pulang. Kedua orang tuaku nampaknya kaget melihatku berjalan agak pincang.

“Di mana sepedanya, Nak?” tanya ayah penasaran.

Gimana to yah, nggak nanyain anaknya yang lagi kesakitan, malah sepeda yang ditanyain,” sahut ibu sewot sambil tergopoh-gopoh menyambut kedatanganku.

“Eka jatuh dari sepeda, Bu. Sepedanya masih tersandar di pinggir jalan,” jawabku seraya menunjuk ke arah sepedaku.

“Tidak apa-apa, Nak, hanya memar sedikit,” kata ibu menghiburku.

Ibu menggandengku menuju ke kamar mandi dan segera membersihkan luka dilutut kakiku dengan air mengalir. Aku merintih menahan sakit saat ibu memberi beberapa tetes obat merah. Dengan kasih sayang dibalutnya luka di lutut kaki kananku menggunakan kain perban.

Tak berselang lama ayah masuk ke rumah membawa sepeda yang baru saja membuatku jatuh. Ayah memutar roda belakang dan depan bergantian dan mengamatinya. Tidak ditemukan kerusakan berarti pada sepeda milikku.

“Sekarang Eka tidur siang dulu ya, biar lekas sembuh!” kata ayah.

“Iya Kak, bobok sama adik ya,”imbuh ibu.

Aku hanya mengangguk tanda setuju. Aku berjalan menuju kamar sambil memandangi sepedaku. Hampir saja aku menabrak kursi bambu yang ada di dekat pintu kamarku. Beruntung ibu mengingatkanku pada waktu yang tepat.

“Kalau berjalan tuh lihat depan!” pesan ibu.

Siang itu aku tidak bisa tidur. Aku mendengar ayah mendengkur di kamar sebelah. “Ayah tertidur pulas,” kataku dalam hati.  Sedangkan ibu mencuci baju di sumur yang ada di belakang rumah. Aku mengetahuinya dari suara deritan kerekan timba yang berulang teratur.

Dengan berjingkat aku keluar dari kamarku. Impianku untuk segera dapat bersepeda seperti obat bius yang menghilangkan rasa sakit dalam sekejap. Kutuntun sepedaku menuju ke jalan tempatku terjatuh sebelumnya.

“Kali ini aku harus hati-hati,” gumamku lirih.

Aku mencari jalan yang agak menurun agar sepedaku mudah meluncur. Di sanalah aku mulai mengayuh sepedaku. Hanya dengan sedikit tenaga sepedaku meluncur dengan cepat. Lagi-lagi aku kehilangan keseimbangan. Rupanya ukuran sepeda terlalu besar dibandingkan dengan postur  tubuhku. Sehingga aku kesulitan menapakkan kedua kakiku di tanah. Aku tidak bisa menahannya, akhirnya aku jatuh lagi bersama sepedaku. Siku tangan kiriku sempat menyerempet sebuah tiang listrik sebelum aku terjatuh.

“Aduh…, siku tangan kiriku sakit” aku merintih lirih.

Aku beristirahat di bawah pohon mangga. Rasa bersalah menyelimuti hatiku. Harusnya aku menuruti pesan ayah dan ibuku, seperti yang selama ini aku lakukan. Aku bimbang, sebenarnya ingin pulang dan meminta maaf pada kedua orang tuaku, tetapi di sisi lain aku takut mereka akan memarahiku.

“Eka…,” suara ayah memanggilku.

Aku terkejut melihat ayah sudah berada di dekatku.

“Ayah…, Eka minta maaf,” kataku sambil tertunduk.

Aku siap jika ayah memarahiku saat itu. Tetapi diluar dugaanku, ayah tidak marah. Ayah mengusap rambutku dan berkata, “Kita ke lapangan saja yuk, nanti Eka bisa belajar bersepeda di sana!”

“Eka tadi belum pamit ibu, yah,”

“Nggak apa-apa Eka. Tadi ibu melihat Eka berjalan ke luar rumah membawa sepeda. Setelah beberapa saat Eka gak kelihatan di sekitar rumah, ibu membangunkan ayah, dan minta ayah agar mengajarimu bersepeda di lapangan,” kata ayah.

Aku bersorak kegirangan, kulupakan rasa sakit di siku tangan kiriku yang kelihatan membengkak. Kami bergegas ke lapangan.

Sesampainya di lapangan ayah memintaku untuk segera menaiki sepeda dan menempatkan kedua kaki di posisi yang benar. Ayah memegangi sadel bagian belakang. Dengan semangat kukayuh pedal pelan-pelan. Tanpa sepengetahuanku ayah melepaskan pegangannya. Baru beberapa meter berjalan aku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Jantungku berdegup dag dig dug kencang. Tangan ayah dengan tangkas menyambar sadel dan menopang dengan kuat. Lega rasanya, kali ini aku tidak jatuh.

“Eka, istirahat sebentar ya,” kata ayahku sambil mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan, “Eka, tolong belikan ayah air mineral dulu ya, di warung pojok lapangan. Eka ingin beli minuman apa terserah,” tambahnya.

Aku berlari kecil menuju warung di sudut lapangan. Meskipun kelihatan kecil, tapi aneka jenis minuman tersedia di sana. Aku langsung mengambil sebotol air mineral ukuran tanggung dan sebotol minuman dingin rasa jeruk kesukaanku. Setelah membayar dan menerima uang kembalian, aku kembali ke lapangan.

“Ayah, uang kembaliannya sepuluh ribu rupiah,” kataku sambil menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan dan sebotol air pesanan ayahku.

“Uang kembaliannya buat Eka saja,” jawab ayah sambil membuka tutup botol minuman yang baru saja diterimanya.

“Terima kasih, yah” jawabku singkat.

Ayah menjawab ucapan terima kasihku dengan mengacungkan jempol tangan kanannya ke atas seraya menenggguk air mineral yang ada di genggaman tangan kirinya.

“Sini, ayah bukain tutupnya!” kata ayahku saat melihatku kesulitan membuka tutup botol minuman kesukaanku.

Begitu mudahnya bagi ayahku membuka tutup botol tersebut. Lalu diberikannya padaku.

“Cless…,” dinginnya minuman rasa jeruk menyegarkan tenggorokanku yang sudah mengering karena kehausan.

Setelah beristirahat sebentar dan rasa hausku terobati. Kucoba lagi menaiki sepeda dengan semangat. Impianku untuk segera lancar bersepeda membangkitkan tenaga baru di saat aku lelah. Beberapa putaran pedal kulalui dengan lancar. Ayah sesekali melepaskan pegangannya seraya memberiku arahan dengan semangat.

“Ayo Eka, kamu pasti bisa…!” berulang kali kalimat yang sama diteriakkan ayah sambil berlari di belakangku. Aku mengendarai sepeda keliling lapangan dengan rasa aman tanpa khawatir jatuh. Karena ayah menjagaku agar tidak terjatuh.

Setelah beberapa kali putaran aku sudah bisa menyeimbangkan sepedaku. Bahkan aku pun lancar saat memulai mengayuh pedal meskipun tanpa dipegangin ayahku. Ayah tidak lagi berlari di samping atau di belakangku. Ia duduk di pinggir lapangan sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi.

“Terima kasih, Ayah. Berkat bimbingan Ayah, kini aku sudah bisa bersepeda,” kataku sambil menghentikan sepeda tepat di depan ayahku.

“Semua ini karena kegigihanmu, Nak. Apa pun impianmu pasti akan berhasil jika disertai doa dan usaha. Jangan pernah menyerah dalam setiap perjuangan!” nasehatnya dengan serius.

“Iya, yah. Eka baru saja membuktikan. Perjuangan pahit yang kulakukan hari ini berbuah manis,” jawabku sambil meraba siku tangan kiriku yang masih terasa sakit dan memandangi kain perban yang melingkar di lutut kaki kananku.

Tak terasa mentari sudah tenggelam di ufuk barat. Ku kayuh sepedaku di atas jalanan yang tidak rata. Ayah berlari kecil di belakangku dengan raut bahagia. Bahagia karena anak sulungnya telah berhasil meraih mimpi yang sempat tertunda, karena belum memiliki sepeda.

 

#AiseiChallengeOktoberWeek2

#cerpenanak

#gigih

Gunungkidul, 13 Oktober 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekor Layang-layang Penyambung Tali Persabahatan

Laboratorium Penguji Kejujuran