Ekor Layang-layang Penyambung Tali Persabahatan

 


Bocah laki-laki gundul berperawakan kurus itu nama panggilannya Andra. Saat ini Andra berumur 10 tahun. Ia duduk di bangku Sekolah Dasar, kelas 3.

Andra selalu mengenakan gelang tali warna hitam yang melingkar di tangan kanannya. Gelang hadiah ulang tahun dari sepupunya itu biasa dilepas saat mandi agar tidak basah terkena percikan air.  Gelang tersebut seolah menjadi identitas sehingga orang cepat mengenalinya. Teman-teman yang selalu bersamanya tidak satupun yang mengenakan gelang seperti punyanya.  Mungkin gelang itu akan dilepasnya kelak saat sekolah sudah tatap muka. Sekolah tempat Andra menimba ilmu melarang anak laki-laki memakai gelang.

Sore itu seperti biasa Andra menggendong layang-layang dan mengayuh sepeda menuju ke  lapangan. Tampak keringat membasahi mukanya sehingga terlihat seperti habis cuci muka. Sebenarnya jarak rumah andra dan lapangan tidak begitu jauh. Namun jalanan menanjak dan ban belakang yang agak kempes membuat andra harus mengayuh sepeda lebih berat dari biasanya. Belum lagi rumput di lapangan yang semakin meninggi memaksa Andra mengeluarkan tenaga lebih agar sepeda dapat melaju di atas rerumputan.

Sesampainya di lapangan Andra langsung menyandarkan sepedanya di gawang. Sepeda miliknya tidak seperti kebanyakan sepeda pada umumnya. Tanpa standar  yang digunakan sebagai penyangga saat sepeda parkir. 

Kali ini Andra berdiri sendirian di sudut lapangan. Biasanya ia ditemani Dino. Ia selalu mampir di rumah Dino sebelum ke lapangan. Dino diboncengkan di belakang dan selalu siap mendorong sepeda ketika Andra tidak kuat mengayuh pedal di tanjakan. Ban belakang yang kempes membuat Andra mengubah kebiasaannya.

Sebenarnya dalam benak Andra terselip rasa bersalah pada Dino, karena tidak mengajaknya ke lapangan. Juga tanpa pemberitahuan lebih dulu. Terbayang di pikiran Andra jika Dino marah akan sulit memaafkan dirinya. Semua temannya hafal betul bagaimana sifat Dino.

Tiupan angin sepoi-sepoi membuyarkan lamunan Andra. Tanpa memerhatikan hembusan angin Andra mencoba menerbangkan layang-layang miliknya. Berulangkali mencoba namun tidak berhasil.

“Mungkin angin tidak cukup kuat untuk menerbangkan layang-layang ini,” gumamnya dalam hati.

Andra lalu duduk di dekat sepedanya. Pandangannya sesekali tertuju ke gang sempit di sebelah utara lapangan, jalan yang yang selalu dilalui teman-temannya saat menuju ke lapangan. Tanpa di sengaja tangan kirinya menyentuh sesuatu yang membuatnya kaget. Ternyata hanya sehelai daun kering. Sesaat Andra menatap daun kering itu. Tiba-tiba raut muka Andra berubah, yang tadinya muram berubah menjadi penuh harapan.

“Aha, dengan daun ini aku akan mengetahui ada angin atau tidak, aku juga tahu angin bertiup ke mana,” teriaknya dalam hati.

 Andra memungut sehelai daun kering yang baru saja membuatnya kaget. Ia berdiri dan melemparkan daun itu ke atas. Namun jatuh lagi tepat di posisi semula, karena tidak ada angin yang membawanya terbang.

Andra  belum sempat duduk kembali saat mendengar dari kejauhan sayup-sayup suara anak-anak. Ia  mengenali suara tersebut. Suara teman-teman yang dari tadi ditunggu kedatangannya. Benar, satu per satu mereka muncul dari gang sempit di sebelah utara lapangan. Andra sedikit terkejut melihat Dino berada di antara mereka. Selain Dino ada Kevin, Nino, dan Freda. Mereka berjalan kaki sambil menenteng layang-layang miliknya.

Hey Andra, mengapa layang-layangmu belum diterbangkan?” tanya Kevin sambil mendekati Andra.

“Aku sudah mencobanya berulang kali Vin, tapi nggak bisa,” jawab Andra dengan lirih. “Dari tadi tidak ada angin,” kata Andra sambil memandang ke angkasa.

“Biasanya kan aku yang nbantu megangin layang-layang kamu sebelum diterbangin,” sahut Dino dengan kesal, “kenapa kamu tadi tidak nyamperin aku?” tambahnya dengan ketus. “Aku nggak mau lagi berteman dengan kamu!” teriak Dino sambil berjalan menjauhi Andra. Nampaknya Dino benar-benar marah, seperti dugaan Andra.

“Maaf, Dino…, ban belakang sepedaku agak kempes, jadi aku nggak nyamperin kamu,” jawab Andra sambil memijit ban.

Dino tak mengeluarkan sepatah kata pun, malah pergi menjauh, menunjukkan kekecewaannya karena sahabatnya tidak memboncengkan dia seperti biasanya. Rupanya dia tidak bisa memahami alasan Andra tidak memboncengkan dia sore itu.

“Ada angin…!” seru Freda dan Nino bersamaan.

Mereka segera mengulur benang dan bersiap menerbangkan layang-layang. Kencangnya hembusan angin membawa layang-layang satu-persatu terbang membumbung tinggi. Masing-masing anak terlihat sigap memainkan layang-layang miliknya. Tarik ulur dilakukan agar layang-layang tetap mengudara. Jaga jarak juga diterapkan agar benang-benang tidak mengalami gesekan. Layang-layang kepunyaan Andra dengan ekornya yang panjang terlihat terbang paling tinggi. Keceriaan nampak di raut wajah mereka.

Pemandangan yang berbeda terlihat pada layang-layang milik Dino. Sejak awal diterbangkan selalu berputar-putar seperti baling-baling kipas angin. Posisinya sering menghadap ke bawah. Bahkan kadang menukik tajam hingga menyentuh tanah.

“Dino, bolehkah aku membantumu memperbaiki layang-layangmu?” kata Andra dengan lirih sambil menghampiri Dino yang sejak tadi belum bisa menerbangkan layang-layang miliknya.

“Nggak usah! Aku bisa sendiri kok!”

Jawaban Dino menunjukkan bahwa ia masih memendam kecewa dengan Andra. Namun Andra sedikit lega, setidaknya Dino sudah mau bicara padanya.

“Layang-layangku kemarin juga seperti itu, tapi setelah diberi ekor yang panjang, layang-layangku bisa terbang dengan seimbang. Tidak lagi berputar-putar apalagi menukik tajam ke bawah.”  Andra berusaha meyakinkan Dino.

“Tapi, aku gak bawa kertas, gunting, dan lem untuk membuat ekor layang-layang Ndra,” kali ini Dino berkata sambil menatap Andra.

“Tenang saja, kebetulan aku bawa lem kok,” kata Andra sambil mengeluarkan sebotol lem dari saku celananya.

“Kertas dan guntingnya?”

Pakai ekor layang-layangku aja. Aku akan menurunkan layang-layangku dan ekornya nanti kupotong, lalu ditempel di layang-layangmu,”

“Kalau ekornya dipotong, nanti layang-layangmu nggak bisa terbang Ndra,”

Nggak apa-apa Din, nanti di rumah aku bisa bikin ekor layang-layang lagi,” jawab Andra.

Dengan senang hati Andra bergegas menggulung benang guna menurunkan layang-layang miliknya. Tidak butuh waktu lama untuk menurunkan layang-layang Andra. Sesampainya di bawah Andra langsung memotong ekor layang-layang miliknya.

Andra segera membawa potongan ekor layang-layang miliknya dan menghampiri Dino. Potongan kertas yang disambung memanjang tersebut ditempelkan di bagian bawah layang-layang Dino. Andra melakukannya dengan cekatan, karena sudah terbiasa melakukannya.

Tara…, kini layang-layangmu siap terbang Din!” seru Andra.

makasih Ndra, aku coba dulu ya Ndra,” sahut Dino sambil mencoba mengulur benang.

“Tunggu sebentar Din, belum ada angin. Aku bantu peganging layang-layangmu ya,”

“Iya Ndra, nanti kalau sudah ada angin aku kasih aba-aba, hitungan ketiga kamu lepas!”

Andra dengan sigap memegang layang-layang milik Dino. Ia berlari kecil menuju ke pinggiran lapangan. Andra berdiri terpaku di sisi utara, karena angin biasanya bertiup ke utara. Ia menantikan datangnya angin serta aba-aba dari Dino.

“Ada angin Ndra!” seru Dino. “Satu…, dua…, tiga…!”

Tepat pada hitungan ketiga Andra melepas layang-layang yang dipegangnya. Dino langsung menarik benang sambil berjalan mundur. Angin segera membawa layang-layang terbang tinggi membelah angkasa. Keceriaan terpancar di raut wajah mereka berdua. Putusnya tali persahabatan dapat disatukan lagi dengan sebuah ekor layang-layang. disambung .  Mereka kembali akrab. Seolah tidak pernah terjadi masalah.

“Terima kasih Andra, senang berteman dengan kamu,” tutur Dino.

“Sama-sama Dino,” jawab Andra sambil tersenyum bahagia.

Andra senang bisa menolong Dino, sahabatnya. Ia senang karena sahabatnya telah memaafkannya.

Kini layang-layang Andra tidak bisa terbang, karena ekornya telah diputus dan dipindahkan di layang-layang milik Dino. Namun Andra senang melihat sahabatnya tersenyum memandangi layang-layang yang baru saja berhasil terbang membumbung tinggi di angkasa. Andra tidak sedih melihat layang-layang miliknya tergeletak di atas rerumputan. Ia bisa membenahi sesampainya di rumah nanti. Andra merelakan layang-layangnya tidak terbang lagi, baginya persahabatan jauh lebih berharga dari pada sekedar menerbangkan sebuah layang-layang.

 

#AiseiChallengeOktoberWeek1

#cerpenanak

#relaberkurban

Gunungkidul, 10 Oktober 2021


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laboratorium Penguji Kejujuran

Sepeda Impian Menghantarkanku Menggapai Mimpi