Rangkaian Listrik dari Singkong

             “Pembagian kelompok macam apa ini!” teriak Dirga sambil menggebrak bangku yang ada di depan Budi. Dengan muka merah ia pergi meninggalkan teman-temannya yang sedang musyawarah, tanpa mengucapkan salam.

Peristiwa itu terjadi pada jam istirahat, saat murid-murid kelas VI SD Penggerak sedang terlibat dalam sebuah diskusi yang dipimpin oleh ketua kelas, Budi.  

Pak Anton, guru  IPA di sekolah unggulan itu sebelumnya memberikan tugas untuk membuat prakarya yang wajib dikerjakan berkelompok. Setiap kelompok mengerjakan tugas  berbeda. Ada yang praktek mencangkok, membuat kerajinan dari barang bekas, dan membuat rangkaian listrik, baik seri maupun paralel. Ia menghendaki agar delapan belas peserta didik kelas VI dibagi menjadi tiga kelompok, sehingga masing-masing beranggotakan enam siswa. Pembentukan kelompok diserahkan sepenuhnya kepada siswa-siswi. Budi, ketua kelas yang terkenal karena bijaksana, dipercaya untuk memimpin jalannya diskusi.

Budi segera membentuk kelompok secara aklamasi, demikian pula dalam pembagian tugas. Hal itu dilakukan agar pertemuan tidak terlalu lama, sehingga nantinya mereka bisa menggunakan waktu istirahat untuk jajan di kantin sekolah atau membaca buku di perpustakaan. Tak disangka, keputusan Budi melukai Dirga, seorang siswa baru yang belum genap dua minggu bersekolah di situ.

“Dirga, maafkan jika aku salah,” kata Budi yang dari tadi mengikuti Dirga tanpa sepengetahuan dirinya.

“Diskusi belum selesai, Dir. Mari kita masuk ke kelas lagi!”

“Nggak mau,” jawab Dirga ketus.

“Kamu boleh menyampaikan usulan, Dir. Nanti kita bahas bersama,” bujuk Budi.

“Nggak mau, tinggalkan aku di sini!” Teriak Dirga dengan nada tinggi.

Dirga sudah menutup hatinya rapat-rapat. Tidak ada celah bagi siapapun yang ingin mencoba memasukinya. Terlebih  Budi, yang dianggap telah menyakitinya. Semua bujukan tidak mempan membawanya kembali ke kelas. Akhirnya Budi meninggalkannya sendirian.

Kini Dirga duduk sendirian di bawah pohon akasia yang tumbuh lebat di belakang gedung perpustakaan.  Ia menyesalkan keputusan si ketua kelas yang tidak memuaskan, sebuah keputusan yang tidak bijaksana. Keputusan itu menimbulkan luka baginya. Rasa kesal dan marah berkecamuk di hati. “Anak orang kaya dijadikan satu kelompok dengan anak orang kaya, begitu pula yang miskin satu kelompok dengan yang miskin, keputusan yang tidak adil.” Dirga menggerutu.

Dirga masih bertanya-tanya dalam hati mengapa teman-teman sekelas tidak ada yang menyanggah keputusan Budi. “Seharusnya tiap kelompok ada anak dari keluarga kaya maupun dari keluarga tidak mampu, jadi nanti tidak ada masalah ketika harus mengumpulkan uang membeli bahan-bahan praktik. Kalau seperti ini, kasihan kelompokku, kelompok tiga. Aku dan teman-temanku kebagian tugas membuat rangkaian listrik. Semua alatnya harus beli, padahal kami semua berasal dari kalangan tidak mampu. Pasti akan keberatan jika iurannya besar. Orang tuaku kadang juga marah-marah jika aku harus membeli peralatan sekolah yang sebenarnya tidak begitu mahal, terutama saat sepi penghasilan.” Ia berandai-andai jika jadi ketua kelas, tidak akan membuat keputusan yang tidak adil seperti itu.

Riuh suara tepuk tangan dari anak-anak yang masih terlibat pembicaraan di dalam kelas membuyarkan lamunan Dirga. “Ada apa tuh? kok malah pada tepuk tangan.” Dirga heran mendengarnya. Ia lalu berjalan mengendap-endap menuju ruang kelas VI. Selanjutnya tanpa diketahui oleh teman-temannya ia berdiri di balik pintu kelas yang terbuka. Dari tempat itu suara teman-temannya yang berada di dalam ruangan terdengar sangat jelas.

“Jadi kesimpulannya, anggota kelompok tidak ada perubahan. Kelompok satu beranggotakan enam anak, semuanya dari Dusun Srikaya, kelompok dua terdiri dari anak-anak dekat sekolah ini, sedangkan teman-teman yang rumahnya di seberang sungai, tepatnya Dusun Singkong dimasukkan di kelompok tiga. Dengan susunan kelompok seperti ini diharapkan koordinasi mudah, karena jarak tempat tinggal anggota kelompoknya berdekatan.” Budi menyampaikan kesimpulan diskusi siang itu.

“Juga mengingatkan, berhubung harus membeli bahan dan peralatan untuk membuat rangkaian listrik, 25% dari biaya ditanggung kelompok dua, sedangkan yang 75% dibebankan kepada kelompok satu.  Dan jika masih ada biaya yang belum dianggarkan di sini, saya harap kelompok satu yang akan menutupnya. Kelompok tiga tidak perlu membayar iuran untuk pengadaan biaya praktik kali ini, tugasnya menyusun rangkaian listrik sampai jadi, saya yakin mereka mampu melakukannya.” Budi kembali mengingatkan lalu menutup diskusi siang itu.

Dirga yang menyimak penjelasan Budi dari balik jendela terhenyak kaget. Ternyata penilaian dirinya terhadapnya berbeda jauh. Ketua kelas yang sebelumnya dianggap tidak adil, ternyata anak yang bijaksana. Budi dan angota kelompok tiga lainnya, yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu dibebaskan dari semua biaya.

Dengan perlahan  Dirga berdiri, lalu berjalan dengan kepala tertunduk menuju ruang kelas, hampir menabrak Budi yang sedang berjalan hendak ke luar.

“Bud, seharusnya aku yang minta maaf. Kamu tidak salah, aku yang salah menilaimu,”

“Tidak apa-apa, Dir, aku tidak menyalahkanmu.” Budi menjawabnya sambil tersenyum.

Kini Budi dan Dirga terlihat menjadi lebih akrab, seakan tidak pernah ada kesalahan. Budi telah memberikan sebuah petunjuk, beban yang berbeda-beda ternyata bagian dari sikap adil.

***

Hari-hari selanjutnya anak-anak disibukkan dengan tugas kelompoknya masing-masing. Kelompok satu diberi kelonggaran waktu setidaknya sebulan untuk memastikan karyanya berhasil. Sedangkan kelompok dua berjanji akan membawa hasil kerja mereka ke sekolah seminggu setelah tugas diberikan. Anak-anak dari Dusun Singkong hanya butuh waktu dua hari untuk menyelesaikan tanggung jawabnya membuat rangkaian listrik.

Pada hari ke-3 setelah tugas diberikan, tepatnya pada mata pelajaran IPA, Dirga dan kelompoknya membawa hasil karya mereka dan mempresentasikan di depan kelas sebelum menyerahkannya pada pak Anton.

“Rangkaian Listrik dari Singkong.” Dirga menuliskan keterangan singkat pada hasil karya kelompoknya.

#AiseiChallengeOctoberWeek3

#cerpenanak

#adil


Gunungkidul, 20 Oktober 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekor Layang-layang Penyambung Tali Persabahatan

Laboratorium Penguji Kejujuran

Sepeda Impian Menghantarkanku Menggapai Mimpi