Laboratorium Penguji Kejujuran

 

            Winda dan Dino dulunya sahabat karib. Rumah mereka bersebelahan. Hanya dibatasi tanaman acalypha siamensis  setinggi semeter. Tanaman yang sering disebut teh-tehan itu ditanam segaris hingga membentuk pagar hidup.

Usia perempuan manis berambut panjang itu terpaut tujuh bulan lebih muda dibanding umur Dino. Ia dilahirkan di saat  Dino  sudah bisa merangkak cepat. Sejak kecil mereka selalu mengisi waktu bersama. Namun empat bulan belakangkan ini, tepatnya seminggu sebelum kenaikan  kelas, hubungan mereka menjadi renggang. Winda memang berusaha menjauhinya, bukan karena sahabat karibnya sering pinjam alat tulisnya dan lupa mengembalikannya. Melainkan karena Dino suka berbohong padanya. Tidak hanya itu, laki-laki berpostur tinggi dan langsing itu juga sering membullynya. Dan yang lebih menyakitkan, Winda pernah difitnah di depan kelas.

“Winda, bolehkah aku bertanya sesuatu?” kata Tedi.

“Boleh saja, tentang apa?” sahut Winda.

“Dino di rumah juga sering berbohong, ya?”

“Aku tidak tahu, Ted,” jawab perempuan itu mencoba menutupi kekurangan sahabatnya.

Ternyata tidak hanya Winda yang sering dibohongi Dino. Hampir semua teman sekelas telah mengalaminya. Bahkan ada beberapa anak pernah dituduh tanpa bukti olehnya. Sehingga wajar mereka membenci Dino karena tabiatnya. Teman-teman di kelas VI pernah merencanakan sesuatu yang jahat terhadapnya. Namun Winda berhasil mencegahnya. Pendek kata, di kelas VI ini ia dikucilkan.

***

Bunyi gelas jatuh menghentikan langkah kaki Dino yang sedang berjalan tidak jauh dari ruang laboratorium. Ia berbalik, lalu berjalan menuju ruang laboratorium. Rasa penasaran membuatnya ingin segera melihat apa yang terjadi. Baru sampai di depan pintu ia dikejutkan suatu benda kecil berkilauan tergeletak di lantai. Rasa ingin tahu menuntunnya masuk lebih dalam. Belum genap empat langkah berjalan ia melihat beberapa pecahan gelas berserakan di dekat kakinya. Diambilnya pecahan yang agak besar, tertera sebuah tulisan 1000 ml.

Dino mencoba menganalisa, “Ini pasti pecahan gelas beaker yang baru saja dipakai praktik oleh Winda dan kelompoknya, karena ada angkanya 1000 ml, kelompok yang lain hanya menggunakan yang ukuran 500 ml.” Ia kembali meletakkan pecahan gelas tersebut. Dalam hati kecilnya ia ingin melaporkan apa yang sedang dilihatnya. Namun, ada sedikit keraguan. “Mungkinkah pak guru memercayai aku? Selama ini aku dicap pembohong oleh teman-temanku,” kebimbangan bergejolak dalam dirinya. Dino berdiri, lalu memutuskan mundur dengan pelan karena takut menginjak pecahan gelas.

Dino belum sempat mundur selangkah pun ketika tiba-tiba Tedi dan Leo telah berdiri di depan pintu. Rupanya mereka juga mendengar suara benda jatuh saat bermain di belakang ruang laboratorium.

“Pasti kamu memecahkan gelas, ayo ngaku,” teriak Tedi seraya menunjuk pecahan kaca yang berserakan di lantai.

“Bu… Bukan aku,” balas Dino ketakutan.

“Kita lapor pak Bima aja, Ted,” ajak Leo.

“Tolong dengarkan penjelasanku dulu,” sergah Dino.

“Tidak perlu lagi penjelasan, tidak ada kebenaran yang keluar dari mulut kamu,” sindir Tedi.

Tanpa menunggu jawaban Dino, keduanya bergegas menuju ke ruang guru. Beberapa siswa yang lain mengikutinya. Mereka ingin menemui pak Bimo, wali kelas VI sekaligus penanggung jawab laboratorium, yang baru saja membimbingnya melakukan praktikum.  

“Selamat siang Pak Bima, mau lapor, gelas beaker ukuran 1.000 ml pecah Pak!” teriak Leo dengan lantang, sehingga mengagetkan bapak ibu guru yang baru saja selesai rapat di ruang guru.

Memang Leo terkenal karena sikapnya yang kurang sopan, termasuk ketika berbicara kepada bapak ibu guru. Ia sering berbicara lantang di depan pintu  tanpa diawali permisi. Berulangkali mendapat teguran tapi tidak digubrisnya.

“Cukup dua anak yang masuk, lewat pintu samping. Kita bicara di ruang BP, yang lain silahkan masuk kelas,” tegas pak Bima.

Tedi dan Leo menuju ke ruang BP, ternyata Pak Bima telah menunggu mereka. Ia lebih dulu berada di sana karena ada pintu di antara ruang guru dan ruang BP.

“Masuk, silahkan duduk!”

“Ya, Pak,” sahut Tedi dan Leo hampir bersamaan.

“Begini, Pak. Tadi kami mendengar bunyi benda jatuh di ruang laboratorium. Kami bergegas ke sana dan melihat pecahan gelas beaker …,”

“Bukan saya, Pak. Saya tidak memecahkannya, sumpah!” potong Dino yang tergopoh-gopoh masuk dan mencoba meyakinkan mereka, sebelum Tedi menyelesaikan kalimat laporannya.

“Tapi, saat itu Dino berada di sana sendirian,Pak,” cetus Leo.

“Diam semua!” gertak Pak Bima, “bicaranya gantian, satu-satu,” tambahnya.

Mereka semua diam. Tidak ada sepatah kata keluar dari mulut mereka. Dino semakin ketakutan.

“Sekarang silahkan dilanjutkan bicara. Diawali dari Tedi, dilanjutkan Leo, dan yang terakhir Dino.” Kata Pak Bima bak seorang hakim mengatur jalannya sidang di pengadilan.

Tedi kembali menceritakan apa yang didengar dan dilihatnya di ruang laboratorium. Senada, Leo mengutarakan hal yang sama. Keterangan keduanya semakin menyudutkan Dino. Terlebih ketika mereka menegaskan bahwa Dino suka berbohong.

Kini posisi Dino semakin lemah. Dino kesulitan membuat argumen, sebab memang tidak ada yang melihat dan mengetahui pasti kejadian pecahnya gelas beaker. Dua saksi melihat dia berada di ruang laboratorium sendirian sesaat setelah terdengar benda terjatuh. Dino tertunduk pasrah. Menantikan jawaban dari pak Bima yang ada di hadapannya. Ia siap menerima hukuman, meskipun tidak memecahkan gelas beaker.  Hukuman  yang diterima sebagai konsekuensi atas kebohongan yang sering dilakukan selama ini.

“Saya yang memecahkan gelas beaker, Pak,” tutur Winda lirih sambil berdiri di depan pintu.

Mereka semua kaget dengan pengakuan Winda yang tidak terduga. Mereka memandangi perempuan berambut panjang itu dengan heran.

“Aku minta maaf ya teman-teman, semuanya gara-gara aku tidak hati-hati,” pinta perempuan manis itu dengan memelas.

“Tapi, aku dan Leo tidak melihatmu...,”

“Diam!” seru pak Bima. Tedi pun tidak melanjutkan kata-katanya.

“Winda, masuk dan duduklah dulu! lalu lanjutkan penjelasanmu, keteranganmu sangat diperlukan,” tandasnya.

Gadis polos itu lalu berjalan dengan muka menunduk. Pak Bima menggeser kursi plastik ya ada dibelakangnya dan menyodorkannya ke Winda yang hatiya tampak gelisah. Ia tahu dampak buruh dari kejujurannya. Ia yakin akan diberi sanksi karena keteledorannya. 

Winda duduk dengan pelan dan mulai bercerita, “Baik Pak, ceritanya begini. Tadi ketika masuk kelas, saya baru menyadari jika ada sesuatu yang tertinggal di ruang laboratorium. Yakni, buku catatan praktikum. Padahal saya ingin menyicil membuat laporan pada jam istirahat. Ketika bel tanda istirahat berbunyi, saya bergegas ke sana untuk mengambilnya. Saya melihat buku catatan saya masih berada di atas meja dekat gelas beaker. Bukunya ada di urutan ke dua dari bawah, dari total delapan tumpukan buku kelompok C.  Semua berawal dari kecerobohan saya. Tanpa hati-hati saya menarik buku sehingga mengakibatkan buku-buku di atasnya bergeser dan menyenggol gelas beaker di sampingnya. Akhirnya gelas tersebut jatuh dan pecah.” 

“Aku tidak melihatmu di sana, Win,” timpal Tedi.

“Biar Winda menyelesaikan ceritanya dulu,” kata pak Bima.

“Jatuhnya gelas menimbulkan bunyi nyaring yang tentunya terdengar dari luar.  Dan benar dugaan saya, ada suara langkah kaki yang terhenti lalu berbalik menuju arah laboratorium, yang kemudian saya ketahui kalau itu Dino. Saya saat itu langsung sembunyi. Tidak berselang lama ada lagi yang datang, dari bicaranya saya langsung mengenali mereka, Tedi dan Leo. Kemudian mereka berdua pergi hendak melaporkan peristiwa yang dilihatnya ke Pak Bima, lalu Dino menyusulnya. Di saat itulah saya keluar dari laboratorium tanpa diketahui siapa pun. Demikian Pak, ceritanya. Saya siap dihukum.” pungkasnya lirih.

“Baiklah, sekarang semuanya sudah jelas. Untuk ruang laboratorium nanti biar Pak Bima yang mberesin.” kata  pak Bima.

“Selanjutnya untuk Tedi dan Leo, kalian harus minta maaf pada Dino! Dino juga harus memaafkan, dan jangan suka berbohong. Untuk Winda, terima kasih atas kejujuranmu, Nak. Kamu tidak dihukum, tetapi harus membuat surat pernyataan bahwa kamu telah memecahkan sebuah gelas beaker ukuran 1000 ml milik sekolah,” tukas pak Bima sekali lagi.

“Jadi, saya tidak disuruh mengganti, Pak?” tanya Winda girang.

“Tidak, Nak. Kejujuranmu lebih berharga dari sebuah gelas beaker 1000 ml,” tandasnya.

Sejak saat itu Winda dan Dino kembali akrab. Dino telah berubah seperti dulu lagi. Menjadi bocah yang polos, tanpa dusta dimulutnya, dan tidak suka membully. Semua murid kelas VI tidak lagi mengucilkan dia. Kagembiraan dan kedamaian telah ditemukan lagi di kelas mereka. Ya, mereka bergembira karena Dino, anak yang sempat “hilang”, telah kembali ke rumah.

 

 

Gunungkidul, 27 Oktober 2021

 

 

 

 

 

Komentar

  1. PoV-nya bocor, Pak. Ini ceritanya memakai sudut pandang orang pertama (tokoh aku), tetapi di tengah-tengah berganti ke orang ketiga, lalu saat pengakuan balik lagi ke tokoh aku. 🙏

    BalasHapus
  2. Ok mks masukannya Bu, siap direvisi, 😁🙏🏼

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekor Layang-layang Penyambung Tali Persabahatan

Sepeda Impian Menghantarkanku Menggapai Mimpi